Selasa, 27 Mei 2008

Ketika Timah Panas Itu Bersarang dalam Dada Anak-anak Bangsa

Malam itu, Jumat, 23 Mei 2008, saya berjalan sendiri menyusuri sudut Kota Bandung. Dari Gedung Kesenian Rumentang Siang, menyusuri Jalan Sunda, lantas berbelok di Jalan Lengkong Kecil, dan berakhir di Jalan Lengkong Besar. Jam di pergelangan tangan saya menunjukkan pukul 23:15. Sudah larut ternyata, sedang pertunjukan yang baru saja saya tonton rasanya masih berputar dalam kepala. Durasi dua setengah jam itu cukup membuat saya berpikir ulang, kembali pada peristiwa 10 tahun yang lalu, Mei 1998.

Apa jadinya jika semua elemen pendukung keberlangsungan negara adalah sebuah rezim yang korup? Sandekala, sebuah pertunjukan garapan Wawan Sofwan yang diadaptasi dari novel karya Godi Suwarna menjawabnya dengan gamblang. Pertunjukan tersebut mau tidak mau telah menggiring ingatan saya pada peristiwa 10 tahun yang lalu di negeri ini.

Pementasan ini berkisah tentang seorang Camat yang korup, memerintah dengan tangan besi. Seorang kuwu dimarahi habis-habisan karena melaporkan wabah demam berdarah kepada wartawan sehingga Camat itu ditegur oleh Bupati. Melakukan kolusi dengan kontraktor pembangunan gedung olah raga, pasar, dan lain-lain. Bahkan Camat itu menyetujui penyelenggaraan pasar malam di alun-alun kota padahal tempat tersebut dekat sekali dengan Mesjid Agung, sekolah, dan rumah sakit. Dan yang paling menyakitkan, Camat itu berani menebang pohon dari tempat keramat yang selama ini sangat dilindungi oleh masyarakat. Masyarakat mulai gerah, sampai akhirnya berani mengajukan protes, namun protes itu diabaikan. Malahan salah satu tokoh masyarakat yang sangat vokal diculik.

“Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya” atau ”like father like son” begitu sebuah pepatah mengatakan. Tapi sepertinya pepatah itu tidak kena pada Dewi, anak dari seorang Camat yang korup. Putri Camat yang korup inilah yang kelak malah membocorkan rapat-rapat para pejabat di rumahnya kepada teman-temannya. Sehingga, penculikan yang lebih banyak bisa dihindari.

Para pemimpin demonstran bersembunyi di sebuah tempat keramat dan menyusun kembali strategi untuk demonstrasi yang akan melibatkan banyak kelompok. Esok harinya terjadi demonstrasi besar-besaran. Awalnya unjuk rasa terkendali tapi tiba-tiba jadi tidak terkontrol, kantor polisi dibakar, koramil dimusnahkan, pasar diserbu dan dijarah, kantor camat dihancurkan. Kota luluh lantak.

Setelah diselidiki ternyata ada sekelompok orang yang sangat brutal, padahal kelompok tersebut bukan berasal dari daerah itu. Bupati sebagai atasan Camat langsung menurunkan petugas. Para pimpinan demonstran diburu. Mereka lari dan sembunyi di tempat keramat. Saat Subuh, melalui serangan fajar, para demonstran yang sembunyi itu dibinasakan.

Ironis, begitulah yang terjadi di atas panggung, begitu juga dengan peristiwa Mei 1998. Timah panas yang keluar dari moncong para pembela negara itu akhirnya bersarang di dada anak-anaknya sendiri yang semestinya dilindungi kehidupannya. Sepuluh tahun telah berlalu, peristiwa itu masih membekas dalam ingatan saya, dalam ingatan Anda juga saya kira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar