Kamis, 11 Desember 2008

Dua Tahun Setelah Penangkapan Itu


Saya tahu, saya paling tidak bisa menjaga ingatan. Saya seringkali sulit mengingat tanggal, tahun, bahkan waktu-waktu yang istimewa, hanya untuk sekadar ingin menandainya, menjadikannya berbeda dari hari-hari biasanya. Saya seringkali gagal memberikan kejutan di hari ulang tahun seorang kawan hanya gara-gara harinya sudah terlewat.

Malam ini, saya memberanikan diri menulis sesuatu yang sudah lama ingin saya tulis. Ini bukan semata-mata karena ingatan saya yang sudah membaik, tapi karena saya takut, semakin lama saya menyimpannya dalam kepala, saya akan melupakannya perlahan-lahan.

Malam ini saya ingin menulis banyak hal tentang Ultimus, toko buku yang juga menjadi ruang publik, sebuah ruang tempat saya menemukan banyak hal. Saya dan Syahfida, seorang kawan lama yang sekarang tinggal di Jakarta menemukan Ultimus tepat setelah seminggu Ultimus baru buka di Jalan Karapitan No.127. Saya berkenalan dengan banyak nama dan wajah yang asing pada saat itu. Cikal bakal Ultimus sendiri adalah sebuah perpustakaan yang diberi nama Sang Pemula, di dalamnya terdapat sekelompok anak muda yang terinspirasi oleh judul novel karangan Pramoedya Ananta Toer.

Di tahun-tahun pertama itulah saya bisa kembali bertemu dengan beberapa kawan lama dalam beberapa acara diskusi buku di Ultimus. Satu tahun lewat tanpa terasa, Ultimus pindah ke Jalan Lengkong Besar No.127, masih nomor yang sama seperti di Jalan Karapitan, tepat di depan Universitas Pasundan, sebuah kampus swasta di Bandung.

Memasuki tahun kedua, sebuah peristiwa membuat mata saya terbuka, negeri ini masih dihantui masa lalunya. Tepat 14 Desember 2006 diskusi bertema Gerakan Marxis Internasional dibubarkan paksa oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Persatuan Masyarakat Anti Komunis atau Permak, gabungan dari 20 organisasi massa seperti Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian Republik Indonesia (FKPPI), Angkatan Muda Siliwangi, Pemuda Pancasila, dan Pemuda Pancamarga.

Sebelas orang yang hadir di sana ditangkap termasuk Marhaen, pembicara pada diskusi itu dan Sadikin sebagai moderatornya. Saya berada di sana waktu itu, menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana orang-orang yang membubarkan diskusi itu merasa begitu punya kekuatan, membubarkan, menangkap, lalu mengambil beberapa buku yang dipajang rapi di meja kasir seenak jidatnya. Saya memang tidak ditangkap, tapi malam itu, untuk pertama kalinya saya merasa tidak aman, takut bicara pada orang yang tidak saya kenal. Mungkin mereka yang datang malam itu merasakan hal yang sama.

Dua tahun berlalu setelah peristiwa penangkapan itu. Tanpa terasa, saya telah menjadikan Ultimus sebagai rumah kedua. Saya menyaksikan orang-orang begitu mudah datang dan pergi. Jika saya ingat lima tahun yang lalu, ketika saya untuk pertama kalinya datang ke Ultimus, wajah-wajah yang dulu itu telah raib dan berganti wajah-wajah baru. Saya mengenal nama-nama baru, riwayat silsilah baru dan pada saat itulah saya merasa tak pernah pergi kemana-mana, saya tak pernah benar-benar meninggalkan Ultimus dan Ultimus tak pernah meninggalkan siapapun.

Sejak lima tahun lalu, saya diam-diam menitipkan nama saya pada salah satu ruang kosong, mungkin di sela-sela buku, di rak-rak yang agak longgar, atau bahkan hanya sekadar menitipkan gumam yang samar.

Ultimus seperti tak pernah menutup pintunya, segalanya masih sama, selalu ada yang datang di saat malam makin larut. Ruang-ruang itu seolah dibuat untuk siapa saja yang bertandang. Bahkan setelah penangkapan itu, Ultimus masih tegak berdiri, malah beberapa buku telah berhasil diterbitkan. Diskusi-diskusi terus digulirkan. Tak ada kata selesai untuk belajar.

Beberapa hari lagi, Ultimus akan punya alamat baru. Mungkin tidak lagi dengan No.127, tapi rasanya tak ada beda. Ultimus tetaplah Ultimus di mana pun dia punya alamat. Saya masih berharap kelak di tempat yang baru bisa merasakan kepulan kopi aroma panas, berbatang-batang rokok, di sela-sela obrolan panjang yang tak pernah berakhir bersama banyak kawan dari belahan dunia mana pun.

Saya tak mungkin menuliskan satu persatu kawan-kawan yang sempat menghabiskan malam-malamnya di Ultimus dengan kopi atau bandrek. Tapi saya percaya, kawan-kawan itu telah juga seperti saya—menitipkan namanya pada sela-sela buku atau pada sesuatu yang mungkin tak bisa diberi nama.

Malam ini saya sedang mencoba mengumpulkan semua hal yang bisa saya ingat tentang Ultimus, tapi lagi-lagi saya hanya mengingat sedikit saja. Saya berharap, di alamat Ultimus yang baru, memori saya bisa menampung lebih banyak lagi peristiwa dan Anda menjadi bagian dalam peristiwa yang saya ingat itu tentunya.

Selasa, 27 Mei 2008

Ketika Timah Panas Itu Bersarang dalam Dada Anak-anak Bangsa

Malam itu, Jumat, 23 Mei 2008, saya berjalan sendiri menyusuri sudut Kota Bandung. Dari Gedung Kesenian Rumentang Siang, menyusuri Jalan Sunda, lantas berbelok di Jalan Lengkong Kecil, dan berakhir di Jalan Lengkong Besar. Jam di pergelangan tangan saya menunjukkan pukul 23:15. Sudah larut ternyata, sedang pertunjukan yang baru saja saya tonton rasanya masih berputar dalam kepala. Durasi dua setengah jam itu cukup membuat saya berpikir ulang, kembali pada peristiwa 10 tahun yang lalu, Mei 1998.

Apa jadinya jika semua elemen pendukung keberlangsungan negara adalah sebuah rezim yang korup? Sandekala, sebuah pertunjukan garapan Wawan Sofwan yang diadaptasi dari novel karya Godi Suwarna menjawabnya dengan gamblang. Pertunjukan tersebut mau tidak mau telah menggiring ingatan saya pada peristiwa 10 tahun yang lalu di negeri ini.

Pementasan ini berkisah tentang seorang Camat yang korup, memerintah dengan tangan besi. Seorang kuwu dimarahi habis-habisan karena melaporkan wabah demam berdarah kepada wartawan sehingga Camat itu ditegur oleh Bupati. Melakukan kolusi dengan kontraktor pembangunan gedung olah raga, pasar, dan lain-lain. Bahkan Camat itu menyetujui penyelenggaraan pasar malam di alun-alun kota padahal tempat tersebut dekat sekali dengan Mesjid Agung, sekolah, dan rumah sakit. Dan yang paling menyakitkan, Camat itu berani menebang pohon dari tempat keramat yang selama ini sangat dilindungi oleh masyarakat. Masyarakat mulai gerah, sampai akhirnya berani mengajukan protes, namun protes itu diabaikan. Malahan salah satu tokoh masyarakat yang sangat vokal diculik.

“Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya” atau ”like father like son” begitu sebuah pepatah mengatakan. Tapi sepertinya pepatah itu tidak kena pada Dewi, anak dari seorang Camat yang korup. Putri Camat yang korup inilah yang kelak malah membocorkan rapat-rapat para pejabat di rumahnya kepada teman-temannya. Sehingga, penculikan yang lebih banyak bisa dihindari.

Para pemimpin demonstran bersembunyi di sebuah tempat keramat dan menyusun kembali strategi untuk demonstrasi yang akan melibatkan banyak kelompok. Esok harinya terjadi demonstrasi besar-besaran. Awalnya unjuk rasa terkendali tapi tiba-tiba jadi tidak terkontrol, kantor polisi dibakar, koramil dimusnahkan, pasar diserbu dan dijarah, kantor camat dihancurkan. Kota luluh lantak.

Setelah diselidiki ternyata ada sekelompok orang yang sangat brutal, padahal kelompok tersebut bukan berasal dari daerah itu. Bupati sebagai atasan Camat langsung menurunkan petugas. Para pimpinan demonstran diburu. Mereka lari dan sembunyi di tempat keramat. Saat Subuh, melalui serangan fajar, para demonstran yang sembunyi itu dibinasakan.

Ironis, begitulah yang terjadi di atas panggung, begitu juga dengan peristiwa Mei 1998. Timah panas yang keluar dari moncong para pembela negara itu akhirnya bersarang di dada anak-anaknya sendiri yang semestinya dilindungi kehidupannya. Sepuluh tahun telah berlalu, peristiwa itu masih membekas dalam ingatan saya, dalam ingatan Anda juga saya kira.